Gerimis mengguyur minggu pagi saya kali ini, seakan melengkapi rasa
malas yang timbul akibat kondisi badan yang terlalu letih karena futsal
seharian kemarin. Gegoleran rasanya
cukup tepat sambil menonton televisi atau bahkan hibernasi seharian penuh
sambil menikmati gerimis yang datang. Pagi ini saya sejenak bangun untuk
menikmati sarapan, Hanif langsung bergegas ketika saya minta untuk membeli Nasi
Uduk di tempat Mamah Harun. Tidak biasanya memang saya minta dibelikan Nasi Uduk
Mamah Harun karena memang cukup jauh dan antriannya juga banyak, biasanya hanya
membeli Nasi Uduk disekitaran rumah saja. Namun entah kenapa pagi ini saya ingin
mencicipi kenikmatan dari Nasi Uduk Mamah Harun.
15 menit berlalu Hanif sudah kembali ke rumah dengan membawa bungkusan
yang sudah saya kenal dengan baik, yupp benar itu adalah bungkusan Nasi Uduk
Mamah Harun. Kenikmatan rasanya masih sama seperti dulu, tidak berubah dengan
komposisi yang pas dan harga yang cukup ramah bagi warga disekitaran lingkungan
kami. Sudah cukup lama saya tidak mencicipi Nasi Uduk ini, mungkin sekitar 1 tahun.
Terakhir saya mencicipinya ketika Harun masih duduk di kelas 3 SMP.
Banyak cerita antara saya dengan Nasi Uduk Mamah Harun, Mamah-nya Harun
dan juga Harun sendiri. Jujur saya amat menyayangi mereka dan sudah menganggap
mereka sebagai keluarga kedua. Harun Zen nama lengkapnya adalah seorang anak
yatim, Ayahnya telah meninggal dunia sejak Harun masih kecil. Dia adalah anak
kedua dari tiga bersaudara, Kakaknya adalah Ahmad Zen yang kini berusia 21
tahun dan Adik Perempuannya (lupa nama) berusia kurang lebih 10 tahun. Kami bertemu
ketika saya sedang melatih futsal untuk anak usia dini, saya lupa kapan waktu pastinya
tapi yang jelas waktu itu Harun masih SD dan masih kecil sekali. Itu semua
tidak disengaja, ketika saya melatih anak-anak, Harun sedang menonton dipinggir
lapangan bersama teman sebayanya sambil sesekali mempraktekan arahan yang saya
berikan. Saya cukup kagum dengan gaya dia yang menirukan arahan saya dan jujur
dia memang terlihat punya potensi yang bagus di olahraga futsal. Beberapa kali
saya melatih, dia selalu hadir untuk melihat latihan yang saya gelar tiap sore
itu, dan kembali harun meniru gerakan arahan yang saya berikan ke anak-anak
hingga mencuri perhatian saya.
Pada hari itu juga Harun saya minta untuk ikut bergabung dengan tim saya
dan dengan perasaan gembira dia langsung bersedia untuk bergabung dengan tim di
sesi selanjutnya. Keesokan harinya Harun datang untuk bergabung bersama tim,
agak sedikit tertawa ketika melihat pertama kali dia datang dengan pakaiannya
yang kebesaran dan sepatu yang juga agak kebesaran. Sudah saya tebak itu adalah
properti milik Kakak nya, Ahmad Zen. Harun adalah anak didik saya yang paling
kecil baik dari postur tubuh maupun usia, yang lainnya kala itu sudah duduk di
bangku SMP namun harun masih duduk di bangku SD. Agak sulit awalnya buat harun
untuk beradaptasi, namun lama kelamaan dengan support dari anak didik yang lain
Harun mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan baik.
Sisi lain, menurut saya Harun adalah anak yang baik karena dia selalu
mendengarkan kata-kata saya baik di dalam maupun di luar lapangan, hormat dan
penurut. Namun ternyata ketika di rumah dia berubah menjadi anak yang sulit
diatur, dia sering melawan Kakak atau bahkan Mamah nya. Tidak mau mendengar apa
kata Mamah nya dan sering membangkang apabila diberi nasehat. Mamah nya sering
datang untuk sekedar curhat tentang perilaku Harun di rumah dan meminta tolong
saya untuk memberi nasehat kepada Harun, karena menurut Mamah, Harun hanya bisa
nurut kalau saya yang memberi nasehat. Ternyata dia sering bercerita tentang
saya kepada Mamah nya, saya juga kaget dan baru tau kalau Harun sering
menceritakan saya dan menceritakan apa yang saya sampaikan ketika melatih. Memang
ketika melatih saya bukan hanya mengajarkan tentang futsal dan sepakbola,
melainkan juga cara tentang hidup. Saya selalu menekankan attitude is everything dan hiduplah untuk selalu membumi.
Ketika ada masalah dengan Harun, Mamah selalu datang untuk sekedar
curhat dan meminta tolong untuk memberi nasehat kepada Harun.
“Bang Acoy tolong bilangin Harun
yaa, belakangan ini dia sholat 5 waktunya bolong-bolong, udah gitu susah dimintain
tolong, padahal Cuma disuruh Mamah nya buat nyiapin jualan Nasi Uduk. Tolongg ya
Bang Acoy soalnya Harun paling nurut sama Bang Acoy, kalo sama Zen (Kakaknya) dan Mamah nya yang ada malah ngelawan terus.”
Dan dengan segera langsung saya sampaikan kepada Harun dengan nada yang
agak tinggi, bukannya kenapa-kenapa karena ini sudah masuk ke ranah orang tua. Saya
harus sedikit tegas, apa lagi Mamah Single
Fighter yang mana harus menghidupi ketiga anaknya dengan berjualan Nasi
Uduk. Gak kebayang gimana kerasnya perjuangan seorang Ibu untuk terus berjalan
mengikuti arus kehidupan dengan beban 3 orang anak.
Kejadian itu terus berulang, mungkin karena memang Harun kurang perhatian
dan kasih sayang dari seorang Ayah. Saya paham betul akan hal itu dan itu
adalah wajar. Sampai dengan Harun lulus dari SMP (kini Harun kelas 2 SMA) saya
selalu mendampingi kehidupannya, saya berperan sebagai seorang Abang dalam
hidup Harun. Ketika Harun SMP tiap hari saya yang mengantarnya pergi ke sekolah
didaerah bilangan Ciganjur Jakarta Selatan. Pukul 5.45 saya menjemput dia di
warung kecil milik Mamah Harun yang tiap pagi berjualan Nasi Uduk. Sambil menunggu
Harun mandi saya memesan sebungkus Nasi Uduk untuk bekal saya sarapan di kantor.
Disepanjang perjalanan kami selalu bercerita dan bertukar fikiran, Harun jelas
menanyakan tentang futsal, futsal dan futsal
“Bang gimana sih
bang biar shootingan saya kenceng?”
“Bang fisik saya
jelek banget ini, kasih program dong biar saya bisa bagus fisiknya”
“Terus gimana yaa
bang biar mental saya bisa bagus kalo ngadepin lawan yang lebih jago?”
Kami selalu bercerita tentang itu dan sesekali saya memberi nasehat
kepada Harun agar dia lebih nurut kepada Mamah dan Kakaknya, dan alhamdulillah
saya mendapat info dari Mamah kalau Harun sudah banyak berubah tentunya ke arah
yang lebih baik. Semenjak Harun masuk SMA kami sudah jarang bertemu karena
sekolah Harun mewajibkan siswanya untuk masuk siang. Oyaaa saya cukup bangga
bisa memotivasi Harun hingga akhirnya dia bisa masuk ke SMA Negeri di daerah
Cinere lohh hehee.
Saya memang bukan seorang Family
Men sejati tapi saya banyak belajar tentang hidup dan mencoba untuk
memberikan yang terbaik buat orang yang saya anggap patut untuk diberikan itu. Caranya
mungkin gak seperti mereka yang sudah terbiasa dengan kehidupan yang baik, saya
punya cara sendiri yang mungkin memang tidak terlihat prosesnya tapi berujung
pada hasil akhir yang sempurna. Harun adalah sedikit dari banyak orang diluar
sana yang butuh perhatian khusus, kadang hal ini dianggap remeh oleh sebagian
orang karena banyak yang merasa itu adalah bukan urusannya dan lebih baik mengurusi
diri sendiri dan keluarga. Eeh tapi yaa itu kembali lagi ke masing-masing
pribadinya sih hehee. Sebenernya banyak banget yang mau ditulis tentang saya
dan Harun tapi kayanya gak bakalan abis kalau ditulis disini. Nanti laah yaa
kita nyambung di tulisan selanjutnya tentang Harun dan keluarganya.